Sejarah masa kecil Nabi Muhammad
Kesehatan mental Muhammad mengkhawatirkan ibu asuhnya sehingga dia mengembalikan Muhammad kepada ibunya ketika anak tersebut berusia lima tahun. Karena masih belum punya suami baru, Aminah ragu2 untuk menerima kembali anaknya sampai Halimah menceritakan padanya kelakuan dan khayalan Muhammad yang aneh. Ibn Ishaq mencatat kata2 Halimah:
Ayahnya (ayah dari anak laki Halimah satu2nya) berkata kepadaku, “Aku takut anak ini mengalami serangan jantung, maka bawalah dia kembali ke keluarganya sebelum terjadi akibat buruk”… Dia (ibu Muhammad) menanyakan padaku apa yang terjadi dan terus menggangguku sampai aku menceritakan padanya. Ketika dia bertanya apakah aku takut anaknya (Muhammad) kerasukan setan, maka kujawab iya, (Ibn Ishaq, Sirat Rasul Allah, p 72)
Adalah normal bagi anak2 untuk melihat monster di bawah tempat tidur mereka dan bicara dengan orang2 khayalannya. Tapi kasus Muhammad tentunya langka dan mengkhawatirkan. Suami Halimah berkata, “Aku takut anak ini mengalami serangan jantung.” Keterangan ini penting. Bertahun-tahun kemudian, Muhammad bicara tentang pengalaman masa kecilnya yang aneh:
Dua orang berpakaian putih datang padaku dengan baskom emas penuh salju. Mereka memegangku dan membelah tubuhku dan mengambil dari dalam tubuhku gumpalan hitam yang lalu mereka buang. Lalu mereka mencuci jantung dan tubuhku dengan salju sampai murni. (W. Montgomery Watt, Terjemahan Sirat Ibn Ishaq, p 36)
Sudah jelas bahwa kekotoran pikiran tidak tampak sebagai gumpalan dalam jantung. Meskipun nyatanya anak2 tidak berdosa, dosa sendiri tidak dapat dihilangkan lewat operasi bedah dan salju bukanlah bahan pembersih yang baik. Cerita ini hanyalah khayalan dan halusinasi dari seorang anak2.
Muhammad sekarang hidup lagi bersama ibunya, tapi ini tidak berlangsung lama. Setahun kemudian Aminah meninggal. Muhammad tidak banyak bicara tentang ibunya. Ketika Muhammad menaklukkan Mekah, lima puluh tahun setelah kematian ibunya, dia mengunjungi kuburan ibunya di Abwa yang terletak diantara Mekah dan Medinah.
Ini adalah kuburan ibuku; Tuhan mengijinkanku untuk melawatnya. Aku ingin berdoa baginya, tapi tidak dikabulkan. Maka aku memanggil ibu untuk mengenangnya dan ingatan lembut tentang dirinya menyelubungiku, dan aku menangis. (Ibn Sa'd, Tabaqat, p. 21)
Mengapa Tuhan tidak mengabulkan Muhammad berdoa bagi ibunya? Apa yang dilakukan Aminah sehingga dia tidak layak untuk dimaafkan? Ini sungguh tidak masuk akal. Sudah jelas Tuhan tidak ada hubungannya dengan hal ini. Muhammad sendirilah yang tidak bisa memaafkan ibunya, bahkan separuh abad setelah dia mati. Dia mungkin mengingatnya sebagai wanita yang dingin dan tidak sayang anak, sehingga Muhammad tidak menyukainya dan mengalami luka bathin yang tidak pernah sembuh.
Muhammad kemudian hidup bersama kakeknya Abdul Muttalib, selama dua tahun. Abdul Muttalib adalah seorang kuncen, penjaga Kabah. Dari kakeknya Muhammad kecil belajar tradisi dan ritual penyembahan di Kabah. Sang kakek yang telah ditinggal mati putranya, sangat memanjakan Muhammad. Ibn Sa’d menulis bahwa Abdul Muttalib sangat memperhatikan Muhammad lebih dari putra2nya sendiri.
Muir dalam Biography of Muhammad menulis: “Anak itu dirawat dengan penuh kasih sayang olehnya. Sebuah karpet biasa dibentang di bawah bayang2 Kabah, dan di situ orang tua (kakek Muhammad) itu berbaring terlindung dari terik matahari. Di sekitar karpet, dengan jarak yang tidak jauh, duduklah putra2nya. Muhammad kecil berlari mendekat pada kakeknya dan mengambil karpet tersebut. Putra2nya hendak mengusirnya pergi, tapi Abdul Muttalib mencegahnya dan berkata: “Jangan larang putra kecilku.” Dia lalu mengelus punggungnya karena merasa girang melihat tingkah lakunya yang kekanakan. Anak laki ini masih diurus ibu asuhnya yang bernama Barakat, tapi Muhammad selalu lari darinya dan pergi ke tempat tinggal kakeknya, bahkan jika dia sedang sendirian dan tidur.
Muhammad ingat perlakuan penuh kasih sayang yang diterimanya dari Abdul Muttalib. Sambil tak lupa membumbui dengan khayalannya sendiri, dia di kemudian hari berkisah bahwa kakeknya biasa berkata, “Biarkan dia karena dia punya nasib yang hebat, dan akan menjadi pewaris kerajaan;” dan berkata pada Barakat, “Awas, jangan sampai dia jatuh ke tangan orang2 Yahudi dan Kristen, karena mereka mencarinya dan akan melukainya!”
Nasib sekali lagi tidak berpihak pada Muhammad. Hanya dua tahun setelah dia hidup bersama kakeknya, sang kakek meninggal dunia di usia delapan puluh dua tahun dan Muhammad lalu diasuh oleh pamannya Abu Talib. Muhammad merasa sedih karena kehilangan kakek yang mengasihinya. Ketika dia berada di penguburan jenazah di Hajun, dia menangis. Bertahun-tahun kemudian dia masih mengenang kakeknya.
Abu Talib mengasuh Muhammad dengan penuh kasih pula. “Kasih sayangnya pada Muhammad sama besarnya seperti kasih sayang Abdul Muttalib padanya,” tulis Muir. “Dia mengijinkannya tidur di atas ranjangnya, makan di sisinya, dan pergi bersamanya ke luar negeri. Dia terus memperlakukan Muhammad dengan lembut sampai Muhammad dewasa.” Ibn Sa’d mengutip Waqidi yang mengisahkan bahwa Abu Talib, meskipun tidak kaya, mengasuh Muhammad dan mencintainya lebih dari anak sendiri.
Karena kehilangan orang2 yang dikasihinya secara berturut-turut di masa kecilnya, Muhammad takut ditinggalkan dan kejadian ini tentunya berdampak emosi kuat. Hal ini tampak jelas dalam kejadian di waktu dia berusia 12 tahun. Suatu hari, Abu Talib hendak pergi ke Syria untuk berdagang. Dia tidak membawa Muhammad pergi. “Tapi ketika kafilah sudah siap berangkat, dan Abu Talib siap menaiki untanya, keponakannya yang tidak mau ditinggal lama memeluknya erat2. Abu Talib terharu dan membawa dia pergi bersamanya.”
Jalan ke Syria saat itu adalah melalui daerah2 yang kaya dongeng dan tradisi, yang menjadi kesukaan orang2 Arab karavan pengembara. Luas dan sunyinya gurun pasir yang sering dilalui, juga tanah gersang yang melahirkan banyak khayalan2 gaib tentang penghuni2 gurun yang berupa Jin yang baik dan jahat, dan dibumbui dengan kisah2 yang memikat, dicampur dengan kejadian2 yang menakjubkan tapi diragukan kebenarannya, dan mereka percaya benar2 itu semua terjadi di masa lalu.









Comments (0)