Buku Bahasa Indonesia Karen Amstrong: Sejarah Tuhan

2. Tuhan Yang Satu

Pada 742 SM, seorang anggota keluarga kerajaan Yehuda mendapatkan penampakan Yahweh di Kuil yang dibangun Raja Salomo di Yerusalem. Masa itu adalah saat-saat sulit bagi bangsa Israel. Raja Uzia mangkat pada tahun itu dan digantikan oleh putranya, Anas, yang memerintahkan warganya untuk menyembah dewa-dewa pagan selain Yahweh. Kerajaan Israel di sebelah utara berada dalam keadaan mendekati anarki: setelah kematian Raja Yerobeam II, telah lima orang raja menduduki takhta dalam selang antara 746 hingga 736 SM. Sementara itu, Tiglat-Pileser III, Raja Asyur, bernafsu betul untuk merebut wilayah Israel, yang ingin dia cakup ke dalam imperiumnya yang meluas. Pada 722, penggantinya, Raja Sargon II berhasil menaklukkan kerajaan utara dan mengusir penduduknya: sepuluh suku di utara Israel dipaksa berasimilasi dan lenyap dari sejarah, sedangkan Kerajaan Yehuda yang kecil sibuk mempertahankan diri.

Ketika Yesaya berdoa di Kuil tak lama setelah wafatnya Raja Uzia, dia barangkali juga tengah dilanda perasaan gundah; pada saat yang sama dia mungkin juga secara tidak nyaman menyadari ketidaklayakan upacara Kuil yang mewah. Meskipun Yesaya merupakan bagian dari kelas penguasa, dia memiliki pandangan demokratis dan populis serta sangat peka terhadap nasib kaum miskin. Tatkala semerbak dupa menyebar di depan Bait Suci dan darah binatang kurban membasahi tempat itu, Yesaya mungkin mencemaskan bahwa agama Israel telah kehilangan integritas dan makna batinnya. Tiba-tiba dia merasa melihat Yahweh tengah menduduki singgasananya di langit tepat di atas Kuil, yang merupakan replika istana langitnya di bumi. Ujung jubah Yahweh memenuhi tempat suci itu dan dia dikawal dua serafim yang menutupi wajah dengan sayapsayap mereka. Mereka berteriak satu sama lain: "Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam [Yahweh Sabaoth]. Seluruh bumi penuh kemuliaannya!"1 Ketika suara keduanya menggema, seluruh Kuil bergetar dan dipenuhi asap tebal, mengelilingi Yahweh dengan kabut tak tertembus, mirip awan dan asap yang menyembunyikannya dari pandangan Musa di Gunung Sinai. Ketika kita menggunakan kata "kudus" pada masa sekarang, biasanya kita merujukkan artinya kepada suatu keadaan keunggulan moral. Namun, kata bahasa Ibrani kaddosh tidak ada kaitannya dengan moralitas semacam itu melainkan berarti "keberbedaan", sebuah keterpisahan radikal. Kemunculan Yahweh yang tiba-tiba di Gunung Sinai telah membentuk jurang pemisah yang sekonyong-konyong membentang antara manusia dan alam suci. Kini serafim itu berseru, "Yahweh itu berbeda! Berbeda! Berbeda!" Yesaya telah mengalami perasaan numinous yang pada waktu tertentu menghinggapi manusia dan memenuhi mereka dengan kekaguman serta kegentaran 

Dalam karya klasiknya, The Idea of the Holy, Rudolf Otto melukiskan pengalaman tentang realitas transenden yang mencekam ini sebagai mysterium terribile et fascinans. Pengalaman itu terribile karena biasanya muncul sebagai kejutan dahsyat yang memutuskan kita dari kenormalan yang menyejukkan dan fascinans karena, anehnya, ia menyimpan pesona yang tak tertahankan. Tak ada yang rasional di dalam pengalaman luar biasa ini, yang oleh Otto diperbandingkan dengan musik atau erotika: emosi yang ditimbulkannya tidak bisa secara memadai diungkapkan dalam kata-kata maupun konsep. Sesungguhnya, perasaan tentang sesuatu yang Sepenuhnya Berbeda ini bahkan tidak dapat dikatakan "ada" karena ia tidak memiliki tempat di dalam skema realitas kita yang normal.2 Konsep baru tentang Yahweh pada Zaman Kapak memang masih sebagai "dewa para tentara" (sabaoth), tetapi tidak lagi semata-mata menjadi dewa perang. Tidak pula sebagai tuhan kesukuan, yang dengan bergairah mencurahkan seluruh kasihnya kepada Israel: kemuliaannya tidak lagi terbatas pada Tanah yang Dijanjikan, tetapi telah melingkupi seluruh bumi.

Like

1

Love

2

Haha

0

Wow

0

Sad

0

Angry

0

Artikel Terkait

Comments (0)

Leave a comment