Buku Bahasa Indonesia Karen Amstrong: Sejarah Tuhan
Yesaya bukanlah Buddha yang mengalami pencerahan pembawa ketenteraman dan kedamaian. Dia tidak menjadi guru umat manusia yang disempurnakan. Sebaliknya dia justru dipenuhi oleh teror kematian, dan menjerit:
Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun aku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam [Yahweh Sabaoth].3
Dicengkeram oleh kesucian transenden Yahweh, yang dia ingat hanyalah ketaklayakan dan ketaksucian ritualnya sendiri. Tidak seperti Buddha atau seorang Yogi, dia tidak mempersiapkan dirinya untuk menyongsong pengalaman ini melalui serangkaian latihan spiritual. Pengalaman itu terjadi padanya secara tiba-tiba dan dia sepenuhnya terkesima oleh pengaruhnya yang meluluhkan. Salah satu serafim terbang ke arahnya dengan membawa bara pijar dan membersihkan bibirnya sehingga dia bisa melafalkan firman Tuhan. Banyak nabi yang tidak bersedia untuk berbicara atas nama Tuhan atau tidak mampu melakukan hal itu. Ketika Tuhan berseru kepada Musa, prototipe semua nabi, dari Semak Menyala dan memerintahkannya untuk menjadi utusannya bagi Firaun dan Bani Israel, Musa berkeberatan karena dia "berat mulut dan berat lidah."4 Tuhan membebaskannya dari satu tugas itu dan mengizinkan saudaranya, Harun, untuk berbicara atas nama Musa. Corak yang lumrah dalam kisahkisah tentang tugas kenabian ini menyimbolkan sulitnya melafalkan firman Tuhan. Para nabi tidak berhasrat untuk menyiarkan pesan Tuhan dan merasa enggan untuk menjalankan misi yang berat dan melelahkan ini. Dengan demikian, transformasi Tuhan Israel menjadi simbol kekuatan transenden takkan berupa proses yang tenang dan menyejukkan, melainkan sarat penderitaan dan perjuangan. Orang Hindu takkan pernah menggambarkan Brahman sebagai raja agung karena Tuhan mereka ticlak bisa dideskripsikan dalam terma-terma kemanusiaan semacam itu. Kita harus berhati-hati untuk tidak menginterpretasikan kisah tentang pengalaman Yesaya melihat Yahweh secara sangat harfiah: itu pada hakikatnya merupakan upaya mendeskripsikan "sesuatu" yang tak terdeskripsikan. Yesaya secara instingtif bersandar kepada tradisi-tradisi mitologis bangsanya untuk
menghadirkan kepada pendengarnya beberapa gagasan mengenai apa yang telah terjadi pada dirinya. Mazmur acap mendeskripsikan Yahweh bertakhta di kuilnya sebagai raja, seperti halnya Baal, Marduk, dan Dagon,5 dewa-dewa bangsa tetangga mereka yang juga bertakhta sebagai raja di kuil-kuil mereka yang serupa. Namun, di bawah gambaran mitologis ini, suatu konsepsi tentang realitas tertinggi yang agak berbeda mulai muncul di Israel: pengalaman dengan Tuhan ini merupakan pertemuan dengan seseorang. Meskipun terdapat keberbedaan yang mencolok, Yahweh bisa berbicara dan Yesaya juga bisa menjawab. Lagi-lagi, hal ini nyaris tidak dapat dikonsepsikan oleh para guru Upanishads, karena ide tentang berdialog atau bertemu dengan Brahman-Atman merupakan bentuk antropomorfis yang tidak layak.
Yahweh bertanya: "Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?" Dan, seperti pendahulunya Musa, Yesaya segera menjawab: "Ini aku! [hineni!], utuslah aku!" Tema pokok visi ini bukanlah untuk mencerahkan nabi, tetapi memberinya tugas praktis untuk dipikul. Pada dasarnya, nabi adalah manusia yang bertindak mewakili Tuhan, namun pengalaman transendensi ini tidak berakibat pada penanaman pengetahuan—sebagaimana dalam Buddhisme— tetapi pada perbuatan. Nabi tidak disifati oleh iluminasi mistikal, tetapi oleh ketaatan. Sebagaimana dapat diperkirakan, risalah tidak pernah merupakan hal yang mudah. Dengan paradoks tipikal Semitik, Yahweh berfirman kepada Yesaya bahwa manusia tidak akan raenerima risalahnya: dia tidak boleh kecewa jika mereka menolak firman Tuhan. "Pergilah dan katakanlah kepada bangsa ini: Dengarlah sungguh-sungguh, tetapi mengerti: jangan! Lihatlah sungguh-sungguh, tetapi menanggap: jangan!"
Tujuh ratus tahun kemudian, Yesus (Isa) akan mengutip katakata ini ketika orang menolak mendengarkan risalahnya yang tak kalah keras.7 Manusia memang tidak bisa menanggung terlalu banyak realitas. Orang Israel pada zaman Yesaya tengah berada di ambang peperangan dan kepunahan, tapi Yahweh tidak menyampaikan pesan yang menggembirakan hati mereka: kota-kota mereka akan dirusak, perkampungan diporakporandakan, dan rumah-rumah dikosongkan dari penghuninya. Yesaya sempat menyaksikan kehancuran kerajaan utara pada 722 SM dan deportasi sepuluh suku Israel utara. Pada 701, Sanherib menginvasi Kerajaan Yehuda bersama sekelompok besar tentara Asyur, mengepung empat puluh kota dan benteng
bentengnya, menembus pertahanannya, mendeportasikan sekitar dua ribu orang, dan memenjarakan raja Yahudi di Yerusalem "bagaikan burung dalam sangkar."8 Yesaya menjalankan tugas tanpa pamrih untuk memperingatkan umatnya akan petaka yang tak terhindarkan ini:
... sehingga hampir seluruh negeri menjadi kosong. Dan jika di situ masih tinggal sepersepuluh dari mereka, mereka harus sekali lagi ditimpa kebinasaan, namun keadaannya akan seperti pohon beringin dan pohon jawi-jawi yang tunggulnya tinggal berdiri pada waktu ditebang.9
Tidaklah sulit bagi pengamat politik yang jeli untuk meramalkan malapetaka ini. Apa yang jelas-jelas orisinal dalam risalah Yesaya adalah analisisnya atas situasi itu. Tuhan Musa yang partisan tentu akan mendudukkan Asyur dalam posisi musuh; Tuhan Yesaya memandang Asyur sebagai alatnya. Bukan Sargon II dan Sanherib yang akan mengusir orang Israel ke pengasingan dan meluluhlantakkan negeri. Akan tetapi, Yahwehlah yang "akan menyingkirkan manusia jauh-jauh."10 Ini adalah sebuah tema yang terus muncul dalam risalah nabinabi Zaman Kapak. Tuhan Israel pada awalnya telah membedakan dirinya dari dewa-dewa pagan dengan cara menampakkan dirinya dalam peristiwa-peristiwa langsung yang konkret, bukan dalam mitologi dan liturgi. Kini, nabi-nabi baru mengajarkan bahwa bencana maupun kemenangan politik menampakkan Tuhan yang menjadi penguasa dan pemilik sejarah. Semua bangsa berada dalam genggamannya. Asyur pada suatu saat akan tiba pada masa keruntuhannya hanya karena para rajanya tidak menyadari bahwa mereka cuma alat di tangan suatu wujud yang lebih besar daripada diri mereka sendiri.11 Karena Yahweh telah meramalkan kehancuran total Asyur, sayupsayup terbit harapan tentang masa depan. Namun, tak ada seorang Israel pun yang berkeinginan mendengar berita bahwa bangsanya sendiri yang telah mengakibatkan kehancuran politik mereka sendiri melalui kebijakan-kebijakan picik dan perilaku eksploitatif. Tak seorang pun yang senang mendengar bahwa Yahweh telah mendalangi keberhasilan serangan Asyur pada tahun 722 dan 701, dan dia pula yang memimpin pasukan Yosua, Gideon, dan Raja Daud. Apa yang dia kira telah dilakukannya terhadap Bangsa Pilihannya?
Tak ada pemenuhan harapan dalam penggambaran Yesaya tentang Yahweh. Alih-alih menawarkan penyembuh kepada manusia, Yahweh justru membuat manusia berhadapan dengan realitas yang tidak diharapkan. Bukannya berlindung dalam penunaian kultus lama yang memproyeksikan manusia kembali ke zaman mitikal, nabi-nabi seperti Yesaya mencoba membuat bangsanya melihat langsung peristiwaperistiwa historis aktual dan menerimanya sebagai dialog yang menggentarkan dengan Tuhan mereka.
Jika Tuhan Musa adalah sang Penakluk, Tuhan Yesaya sarat dengan kesedihan. Kenabian, sebagaimana diturunkan kepada kita, dimulai dengan ratapan yang sangat tidak menyenangkan bagi orangorang yang terlibat perjanjian: lembu dan keledai mengenal siapa tuannya, "tetapi Israel tidak ... umat-Ku tidak memahaminya."12 Yahweh sungguh telah muak dengan hewan-hewan kurban di kuil, dibuat jemu oleh lemak dan darah sapi maupun kambing dengan bau busuk darah yang tercium dari tempat pembakaran. Dia tidak suka pesta-pesta mereka, upacara-upacara tahun baru, dan ziarah yang mereka lakukan.13 Tentu saja, ungkapan semacam ini akan sangat mengejutkan audiens Yesaya: di Timur Tengah, perayaanperayaan kultus semacam ini merupakan esensi agama. Dewa-dewa pagan sangat bergantung kepada upacara-upacara itu untuk memulihkan energi mereka yang menipis; gengsi mereka sebagiannya tergantung pada kemegahan kuil-kuil mereka. Kini Yahweh secara aktual telah mengatakan bahwa hal-hal seperti itu sama sekali tak bermakna. Sebagaimana para guru dan filosof lain di dunia berperadaban (Oikumene), Yesaya merasa bahwa ibadah lahiriah tidaklah memadai. Orang Israel mesti menemukan makna batin agama mereka. Yahweh lebih menghendaki kasih sayang daripada pengurbanan:
Bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; Usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!14
Comments (0)